oleh : Evi Baiturohmah
Pergulatan Bangsa Pra dan Pasca Reformasi
Anggapan Indonesia sebagai negara yang miskin, bodoh dan tertinggal dalam konteks pemerataan sumber daya manusia tidak bisa mutlak disalahkan. Hasil kerja paksa dan pembodohan berlapis di tingkat gurem hingga kakap tidak pelak tersumbatnya pengetahuan menghidupi pemikiran rakyat. Hal itu sejalan dalam menyumbang kelambatan proses pembangunan Indonesia walaupun akhirnya mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Meskipun demikian, deklarasi proklamasi yang diucapkan Soekarno pada saat itu juga merupakan bukti paling nyata akan sebuah harapan dan revolusi pemikiran yang tumbuh pesat yang terjadi di Indonesia. Pemikir- pemikir bangsa sejak jaman penjajahan telah muncul dan menyemai kader secara pasti dan berkala. Pemikir- pemikir bangsa merumuskan kebijakan- kebijakan, melakukan pergerakan yang masif menggalang persatuan dari Sabang hingga ke Merauke dan bahkan dari negeri seberang ikut menjadi pahlawan- pahlawan di medan dialektika maupun dunia nyata dalam mewujudkan kemerdekaan. Mewujudkan sebuah bangsa yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.
Dalam memaknai pergulatan sejarah bangsa, Soekarno telah meletakkan dasar nasionalisme yang tinggi dengan filosofi Marhaenismenya. Kegigihan Soekarno dalam mewujudkan kemandirian bangsa secara total yang dimulai dengan tegaknya fondasi ekonomi rupanya belum mampu berdiri dengan benar. Menolak investasi asing, Indonesia mengalami hiperinflasi yang menyebabkan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemeritah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemandirian sebuah bangsa tidak terlepas dari kemandirian ekonomi yang menjadi salah satu faktor terpenting pembangunan negara dalam mencapai tujuannya. Mengutip ucapan profesor Radius Prawiro dalam menggambarkan usaha Indonesia dalam mengatasi hiperinflasi di era 1960-an yakni stabilisasi tanpa pertumbuhan ekonomi berarti menyelesaikan perlombaan di Olimpiade sebagai nomer empat- tidak ada medali, tidak ada parade, hanya prestasi gemilang yang berakhir dengan ketidak tenaran (Prawiro, 35:1998). Pada saat itu, ekonom Indonesia membua formula yang kemudian oleh sebagian orang dicibir karena melakukan stabilisasi sekaligus menumbuhkan atmosfer ekonomi yang positif. Analogi ini cukup menarik dan tepat dalam menggambarkan hipertransformasi yang sedang melanda Indonesia saat ini.
Pasca Reformasi, secara cepat Indonesia telah mengalami perubahan yag sangat signifikan dalam seluruh aspek kehidupan; Ekonomi, Sosial, Budaya, dan Pendidikan. Efek kapitalisme dan globalisasi tidak dapat terhindarkan dengan posisi Indonesia yang semakin terbuka terhadap akses global. Ambivalensi materialisme kini mulai menggerus budaya lokal dan menampilkan budaya populer yang merupakan produk kapitalis. Salah satu keterbukaan Indonesia dengan akses global adalah komitmen Indonesia sebagai anggota PBB untuk menjalankan target Millineum Development Goals (MDGs).
MDGs yang merupakan singkatan populer dari Millenium Development Goals yang merupakan pakta persetujuan kepala negara seluruh dunia yang lahir dari Konferensi Tingkat Tinggi Milenium di New York pada tahun 2002. Dari sekian tujuan yang ingin dicapai oleh PBB dan lembaga di seluruh dunia adalah mengurangi kemiskinan ekstrim yang dijabarkan dalam 8 rincian yang meliputi pengurangan kemiskinan dan kelaparan, pendidikan universal, kesetaraan gender, kesehatan anak, kesehatan ibu, penanggulangan HIV/AIDS, kelestarian lingkungan dan kemitraan global. Dari kedelapan poin ini, negara anggota PBB termasuk Indonesia wajib menjalankan program- program yang dibuat dalam rangka mencapai tujuan dari MDGs. MDGs dapat diartikan sebagai tantangan bagi Indonesia dalam membangun kestabilan nasional dan pengentasan kemiskinan menuju Indonesia makmur. Perspektif dalam memandang MDGs bisa ditarik dari wilayah nasionalisme dan juga citra bangsa di mata internasional. MDGs secara langsung merupakan program terstruktur dengan batas- batas waktu yang telah disepakati bersama dan diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif nasionalisme, MDGs adalah salah satu pemicu pemerintah dalam menyempitkan fokus permasalahan yang akan ditangani dalam jangka waktu 15 tahun sejak penandatangan persetujuan tersebut. Dengan mematuhi progam yang dicanangkan MDGs maka pemerintah Indonesia secara langsung mengatasi beberapa permasalah internal bangsa. Di sisi lain, citra Indonesia di dunia internasional juga dipertaruhkan dalam komitmen dalam pelaksanaan program yang merupakan agenda bersama negara di seluruh dunia ini.
Mencermati ke-8 poin MDGs diatas, ada satu hal yang sangat vital yang (mungkin) dialeniasikan/ dimarginalkan atau dengan pertimbangan lain tidak dimasukkan menjadi poin mendesak yang harus dilaksanakan dalam tahun- tahun terdekat ini. Character and Moral Value. Kedelapan poin diatas memang merupakan poin krusial yang mendesak untuk diselesaikan, akan tetapi kurangnya pemahaman tentang pentingnya karakter dan nilai moral dapat menjadi hambatan yang serius dalam menjalankan program pengentasan kemisikinan dan permasalahan lainnya secara global. Pemerintah dapat dikatakan berjalan dengan sebelah kaki ketika meninggalkan poin ini. Pentingnya karakter bangsa dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus menjadi salah satu bahasan yang konstruktif. Korupsi, keserakahan, pembangunan yang tidak merata dan konfik antar suku masih hidup dan bahkan semakin marak pasca reformasi merupakan fakta lapangan yang membutuhkan komitmen pemerintah bukan hanya dari program diatas kertas melainkan dengan pendekatan yang paling tepat dengan berlandaskan karakter bangsa dan nilai moral yang berkembang di masyarakat.
Pertanyaan besar muncul, setelah beramanat pada sistem demokrasi apakah Indonesia sekarang sedang dalam track yang benar untuk mewujudkan tujuan bangsa atau malah melenceng jauh demi mengejar kemapanan ekonomi (materialisme). Reformasi 1998 tidak menurunkan jumlah korupsi, permasalahan semakin kompleks, serta gempuran budaya dan pergeseran sosial terjadi secara masif bahkan tergolong berbahaya. Disinilah letak permasalahan bahwa semangat bernegara sekarang tergadai oleh kepentingan, kuasa dan tentu saja uang. Menghadapi tantangan global, termasuk MDGs, Indonesi butuh bangkit mestabilisasi keadaan dan membangun pertumbuhan bangsa menuju tujuan negara seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Kebangkitan Indonesia dilaksanakan oleh generasi yang mempunyai semangat berbangsa dan bernegara yang kuat, berani dan tentu saja berkarakter.
Negarawan, Karakter Bangsa dan Nilai Moral
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia negarawan adalah ahli dalam kenegaraan, ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan), pemimpin politik yang taat asas, menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Dari arti harfiah kita bisa memaknai bahwa negarawan adalah pemikir yang visioner dalam mengelola permasalah kenegaraan dengan karakter yang kuat sehingga kebijakan yang diambil merupakan kebijakan yang mulia dan berasaskan manfaat bagi seluruh kepentingan bangsa dan negara. Negarawan adalah orang yang berpikir secara luas dan mampu mengambil kebajikan lokal (local wisdom) sebagai salah satu pondasi kuat dalam menjalankan pembangunan bangsa. Bahasan mengenai negarawan menjadi penting mengingat betapa banyak pihak yang menduduki jabatan politis dan strategis kemudian menyalah-gunakan posisi mereka untuk mencapai kemakmuran pribadi dan golongan dan mengorbankan amanat rakyat. Rakyat yang terjerat kini mulai kehilangan kedaulatannya. Negara yang dicap sebagai penganut demokrasi pancasilais ini semakin tidak menginjak pada ideologi kehidupan bernegara. Demokrasi yang merupakan manifestasi kedaulatan rakyat yang dipegang oleh wakil di dewan rakyat sekarang melenceng dari dasar utama pijakan filosofisnya. Kedaulatan rakyat yang terwakilkan dalam Pemilihan Umum kini semakin dicekik dengan penerapan Parliamentary Treshold (PT) atau ambang batas suara 3.5 persen yang diberlakukan secara nasional dari DPR, DPD hingga DPRD. Penetapan ambang batas ini merupakan salah satu saja proses pematian landasan filosofi demokrasi di Indonesia. Dalam konteks menyelengarakan negara dengan ideologi pancasilais, musyawarah sekarang menjadi cara yang pilihan pertama dan utama tapi seringkali menjadi pilihan terakhir. Hal ini terbukti dengan banyaknya kebijakan yang merupakan hasil pemungutan suara. Jelaslah indikasi fenomena ini bahwa nilai- nilai kebersamaan kini tergerus oleh nilai golongan dan pribadi. Melihat peta politik dan bernegara yang semakin runyam, muncullah wacana tentang negarawan. Negarawan tidak dapat secara sempit kita artikan sebagai pemikir yang menuangkan gagasan dalam lembaran kertas saja, melainkan juga mereka para pelaku kebijakan yang memiliki pemikiran dan ideologi yang mumpuni dalam menjalankan amanat rakyat. Indonesia membutuhkan karakter pemimpin yang bukan hanya berideologi melalui partai politik yang menaungi karirnya akan tetapi yang mempunyai visi besar dalam membangun Indonesia dalam mencapai tujuannya.
Karakter merupakan kumpulan dari tingkah laku baik dari seorang manusia (Sadewo, 13). Negarawan adalah pemimpin yang berkarakter. Erie Sudewo dalam bukunya Character Building menuliskan bahwa karakter dapat dibagi menjadi karakter pokok dan karakter pilihan. Karakter pokok dibedakan menjadi karakter dasar, karakter unggul dan karakter pemimpin. Karakter- karakter tersebut mencakup egois, jujur, disiplin, ikhlas, sabar, bersyukur, bertanggungjawab, berkorban, perbaiki diri, sungguh- sungguh, adil, arif, bijaksana, ksatria, tawadhu, sederhana, visioner, solutif, komunikatif, dan inspiratif. Negarawan yang berkarakter inilah yang kemudian akan menjawab tantangan bangsa Indonesia kedepan. Tantangan dalam menatap MDGs dan manuver perubahan menuju tatanan ideal sebuah pemerintahan.
Karakter bangsa dapat dikatakan sebagai karakter yang dimiliki oleh suatu bangsa yang dapat dilihat dari refleksi kehidupan sehari- hari. Karakter bangsa Indonesia merupakan kumpulan karakter manusia ketimuran yang mempunyai nilai khas masing- masing suku/ budaya yang kemudia terejawantahkan dalam satu kesatuan NKRI. Bhineka Tunggal Ika. Berbeda- beda tetapi tetap satu jua. Karakter inilah yang kemudian menjadi modal bagi para pemuda untuk menjadi negarawan yang mumpuni dalam menyusun solusi permasalahan bangsa.
` Selain karakter bangsa, nilai moral yang hidup dan berkembang dalam masyarakat juga menjadi satu perhatian khusus. Acap kali berbagai wacana yang menggambarkan adanya megatransformasi kebudayaan dan nilai- nilai yang berlaku dalam masyarakat gagal memetakan bagaiman sesungguhnya ia bisa dijaga dan harus diimplementasikan dalam kehidupan bangsa dan negara. Ekses budaya global (popular culture) memang berpengaruh signifikan terhadap bergesernya nilai- nilai dan tatanan masyarakat. Merosotnya kebersamaan, asas gotong royong dan naiknya ego pribadi dan kedaerahan menjadi masalah yang timbul karena filtrasi budaya yang gagal menyesuaikan budaya pendatang dengan budaya asli. Gagalnya filtrasi tersebut membuat norma dan nilai moral di masyarakat bergeser dan menuju arah yang berlawanan. Oleh karena itu, nilai moral yang ada dalam masyarakat haruslah dijaga dan dipreservasi atas fungsinya sebagai pengikat masyarakat komunal yang berada dalam haluan ideologi negara. Serbuan kepentingan asing dan ancaman internal yang intens akan sangat mudah menggoyahkan stabilitas dan bahkan membawa negara menjauh dari tujuan hakikinya.
MDGs dan Marginalisasi Nilai Moral dan Karakter
Sejak tahun 2002 digulirkan dalam KTT di New York, telah terjadi beberapa kali pertemuan tingkat dunia yang membahas MDGs yakni pada September 2005 dalam KTT Dunia, September 2008 dan September 2010 dalam review khusus membahas keberjalanan program MDGs. Hal ini menunjukkan ada komitmen yang tinggi dari penduduk dunia untuk bersama- sama memerangi kemiskinan dan mencapai kesejahteraan bersama dalam berbagai aspek kehidupan. Ada 8 poin MDGs yakni 1) Eradicate extreme poverty and hunger 2) Achieve universal primary education 3) Promote gender equality and woman empowerment 4) Reduce child mortality 5) Improve materinal health 6) Combat HIV/AIDS, malaria and other diseases 7) Ensure Environmental Sustainability dan 8) Develop global partnership for development. Kedelapan poin diatas dinilai pokok- pokok tujuan yang paling mendesak yang perlu segera ditindaklanjuti oleh warga dunia.
MDGs tidak menyebut secara rinci tentang pembentukan karakter atau preservasi nilai- nilai moral yang ada di masyarakat. Meskipun tidak disebut secara rinci dalam 8 poin yang tertuang, keberadaan nilai moral dan karakter memegang nilai yang sangat penting dalam pencapaian target yang telah ditetapkan. MDGs mereduksi nilai akan pentingnya penduduk dunia untuk kembali kepada karakter bangsa yang unik dan nilai moral yang luhur. Perang dan segala permasalahan yang ingin diselesaikan oleh seluruh penduduk dunia tidak akan tercapai jika pelaku/ pemerintah/ negara tidak berhasil mengeksplorasi karakter bangsa mereka sendiri. Meski mendesak, akan tetapi permasalahan dunia yang tercantum diatas terlihat terlalu bersifat fisik dan melupakan esensi filosofis tatanan kehidupan bermasyarakat. Materialisme, meskipun tidak bisa disalahkan sebagai penyebab satu- satunya pergeseran nilai- nilai di masyarakat, merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pergeseran nilai ke arah konsumerisme buta dan penggerusan nilai kebersamaan.
Delapan poin MDGs tidak dapat dipungkiri juga merupakan hasil pemikiran yang matang oleh seluruh komponen pemangku kebijakan trans nasional dan tentu saja mewakili keresahan universal. Tanpa mengurangi komitmen dalam menjalankan target- target MDGs, perlu sebuah kesadaran kolektif akan pentingnya landasan filosofis masyarakat yakni karakter dan nilai moral yang luhur.
Tantangan Menyelamatkan Indonesia
Menghadapi tantangan global, perumusan kebijakan yang strategis dan pro rakyat serta peningkatan kualitas sumber daya manusia berbasis kearifan lokal adalah mutlak dibutuhkan. Ambivalensi dalam memaknai MDGs secara khusus maupun menngembalikan titah pergerakan dan pembangunan bangsa layaknya harus disikapi dengan bijak. Sebuah sinergi dan kaderisasi akan negarawan muda yang mumpuni harus berlanjut.
Menyelematkan Indonesia membutuhkan kerja keras luar biasa. Sebagai negara berkembang yang diprediksi bakal menduduki peringkat lima ekonomi dunia pada tahun 2020, pemerintah harus kerja keras untuk menstabilkan kuasa nasional maupun internasional. Tantangan liberalisme dan konflik konservatif masih menjadi masalah yang rumit untuk diselesaikan. Tantangan itulah yang menjadi pekerjaan bagi negarawan- negarawan muda. Indonesia membutuhkan negarawan muda yang mempunyai semangat nasionalisme dan sekaligus pikiran yang terbuka terhadap perkembangan jaman. Mewujudkan Indonesia yang ideal yang memberikan kesejahteraan pada seluruh rakyat sekaligus menjadi bagian dari penduduk dunia yang saling berpadu mewujudkan kemitraan global menyongsong perdamaian universal tentu tidak mudah. Pemuda harus menjadi negarawan yang mempunyai visi yang strategis dalam membangun sebuah sistem perbaikan dan perubahan berkala dalam skala nasional maupun internasional.
Permasalahan bangsa seperti korupsi, konflik antar suku/ agama, kelaparan, kemiskinan dan degradasi moral membutuhkan proses dalam upaya penyelesaiannya dan membutuhkan sinergi dari seluruh elemen bangsa. Adalah pemuda yang menjadi salah satu motor penggerak untuk mewujudkan perubahan. Bukan sembarang pemuda melainkan pemuda negarawan yang berkarakter; negarawan yang mampu bertindak lokal dan berpikir global maupun negarawan yang memberi kontribusi langsung maupun strategi.
Kesimpulannya, MDGs sebagai salah satu tantangan bagi bangsa Indonesia harus mampu disikapi secara bijak dan strategis. Ancaman alienasi karakter bangsa dan nilai moral yang terwujud dalam hilangnya border line antar negara secara kultural dan masifnya ekses budaya global harus menjadi perhatian tersendiri. Tantangan ini harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam bentuk kepemipinan dan kehidupan kenegaraan oleh para negarawan yang berkarakter. Hanya dengan kepemimpinan seorang yang berpikir secara luas dan bijaklah arah bangsa ini akan menemukan titik balik kemerdekaan dan tujuan berbangsa yang sebenarnya. Hilangnya karakter dan penggerusan nilai moral di masyarakat ditambah meningkatnya tensi hubungan global akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang kehilangan jati diri dan kekuatan yang besar. Kelaparan, kemiskinan, kesehatan dan berbagai permasalahan bangsa adalah sama bahayanya dengan bangsa yang tidak berkarakter. Bangsa yang tidak mempunyai karakter dan negarawan berkarakter tidak akan mampu membawa bangsa Indonesia menuju tujuan kemerdekaan hakikinya. Dia lepas teramuk badai globalisasi.
* Baktinusa UNS